CM vs Herbart’s Psychology

Narasi Vol 6, Chp 7, How we make use of mind

Saya mempersiapkan sebuah acara spesial anak-anak. Setelah tema diputuskan dalam rapat, saya mendapat tugas untuk mencari cerita, kegiatan, dan ilustrasi pendukung untuk acara itu, pendeknya, saya merumuskan seluruh acara itu. Mulailah saya ketikkan keyword tema di google. Dan muncullah gambar-gambar indah yang di post di pinterest. Saya perlu beberapa jam untuk memeriksa kegiatan yang ada disitu, memutuskan yang mana yang akan dipakai dalam acara ini, mencari free printable atau meng-edit yang sudah ada, dan ketika masih ada yang kurang, saya harus mencari sumber lain, dengan membuatnya sendiri.

Rekan-rekan sangat bersemangat ketika saya ceritakan apa saja yang akan kita lakukan. Kegiatannya akan mendukung tema, video yang akan kami tonton memiliki pesan khusus yang akan dikuatkan dengan cerita, dan lagu yang dipilih pun juga sangat sesuai. Kami juga siapkan snack yang bentuknya seperti yang ada di tema. Semuanya sudah siap dan ketika acara itu dilangsungkan, anak-anak sangat senang. Kami juga bersemangat.

Tapi beberapa minggu kemudian, misi yang ingin kami tanamkan pada anak-anak hilang begitu saja. Sebuah slogan yang kami proklamirkan berulang-ulang pada acara itu tidak lagi didengungkan. Anak-anak sudah lupa tema acara itu. Mereka ingat kegiatannya, tapi tidak ada perubahan sikap, perubahan hati, aplikasi dari tema.

Dan betapa kagetnya saya ketika hal ini adalah yang Charlotte Mason tentang dalam pendidikan.

Herbart’s philosophy that the mind is like an empty stage waiting for bits of information to be inserted puts too much responsibility on the teacher to prepare detailed lessons that the children, for all the teacher’s effort, don’t learn from anyway.

Charlotte Mason’s Education Principle #10

Saya tidak bisa menerangkan Herbart’s philosophy, selain apa yang Charlotte Mason tulis. Tapi yang saya dapatkan adalah ini ;

Dalam pendidikan, cara Herbart sangat asyik bagi guru. Guru seperti seorang master chef yang memberikan live cooking show bagi murid-muridnya. Dia akan menggunakan bahan-bahan terbaik, dengan teknik mutakhir dipadukan dengan alat makan yang sesuai dan alunan musik yang cocok untuk membuat anak menikmati makanan-pelajaran yang disajikan sesuai dengan keperluannya.

Anak pun sangat menyukainya. Dia menikmati semua pertunjukan ini. Dia menyukai hidangannya, tinggal santap. Dan begitu pertunjukkan selesai, yang ada hanya memori tentang masakan itu di lidah. Dan anak masih tetap tidak bisa memasaknya sendiri meskipun si koki memasak di depannya secara langsung.

Analogi pelajaran dengan makanan ini sangat bisa saya pahami.

Ketika anak disajikan dengan soal-soal asyik seperti puzzle, teka-teki, kegiatan yang berhubungan dengan tema (contoh : belajar tentang Cina jadi kita akan membuat model The Great Wall), mereka sangat menikmatinya. Dengan antusias membuatnya dan akan menceritakan pada orang-orang apa yang mereka buat. Tetapi betapa menyedihkannya kalau benak anak tidak diisi apa-apa dengan kegiatan yang sudah dipersiapkan guru selama berminggu-minggu ini.

Benak anak perlu diberi makan. Tapi tidak dengan cara force feeding seperti ini. Anak harus mau mencari makanannya sendiri. Anak harus membuat relasi dengan pelajarannya sendiri.

Idealnya, kita membaca misalnya buku tentang binatang laut. Lalu anak ingin menggambar lumba-lumba. Mungkin dia ingin melihat video tentang kepiting, atau hal lain yang menarik perhatiannya. Anaklah yang menjadi motor penggeraknya. Dia sendiri yang membuat relasi dengan berbagai pelajaran yang pernah dia terima. Bukan guru yang membuat relasi dan anak tinggal terima saja.

Ini mirip unschooling ?

Ada kemiripannya, tapi metode CM memiliki struktur.

Dalam diskusi dengan teman tentang topik ini, kami menarik kesimpulan bahwa kita pantang membuatkan relasi itu bagi anak. Anak harus menyimpulkan sendiri. Dan caranya adalah dengan atmosfer bebas berdiskusi dalam keluarga dan open ended questions. Yang membuat anak berpikir, merenung.

Membaca awal dari Bab 7 Volume 6, hati saya jadi takut. Apakah selama ini saya memaksakan relasi ? Apakah saya telah mendorong atmosfer yang membuat anak bisa merelasikan pelajarannya ? Saya akui saya masih lemah dalam screen time. Waktu untuk kami berpikir, merenung dan mendalami pelajaran sangat kurang dalam homeschool kami karena diisi dengan screen time.

Lesson plan yang saya buat atau ikuti, apakah itu cara yang CM tentang ? Saya masih galau dalam hal ini. Semoga dalam pembacaan berikut lebih ada titik terang.

Leave a comment